Jumat, 27 Mei 2011

Sembilan Elemen Jurnalisme



Judul                      :    Sembilan Elemen Jurnalisme
Pengarang            :    Bill Kovach & Tom Rosenstiel
Penerbit                :    Pantau
Tahun Terbit       :    2006
Tebal                      :    293 halaman
Bahkan bebek pun butuh berita…
Alkisah, Gober Bebek dan Roker Bebek, dua ekor multijutawan di Kota Bebek, sedang terlibat dalam persaingan memperebutkan pasar, pasar bagi koran mereka masing-masing.  Berbagai cara mereka tempuh, agar warga Kota Bebek tertarik membaca koran mereka. Gober meminta dua orang redakturnya, Donald dan Didi, memasang rubrik teka-teki silang, ramalan bintang, resep masakan, dan cerita bergambar dalam korannya (Koran Bebek).
Tentu saja, Roker (Koran Wekwek) tidak mau kalah. Segera saja ia meniru isi Koran Bebek. Dia menambahkan rubrik sirkus, mode, petualangan, sisipan berwarna (tiap hari!), bahkan undian berhadiah. Begitu Roker membalas, Gober balik lagi membalas. Halaman berita lama kelamaan berkurang, dan perang yang memanas membuat Donald dan Didi merasa tersudut dan lelah oleh tekanan bosnya. Mereka berontak dan akhirnya dipecat oleh Gober.
Dalam keadaan luntang-lantung tanpa pekerjaan, mereka berdua menyepi ke taman kota dan bertemu dengan redaktur pelaksana Koran Wekwek, yang ternyata juga dipecat oleh Roker karena dianggap tidak becus meningkatkan penjualan. Saat saling berbagi keluh kesah, tiba-tiba datanglah Pak Peci, seorang pembaca yang senang mengkoleksi kedua koran diatas. Setelah mendengar keluhan-keluhan para kuli tinta yang baru saja menjadi pengangguran ini, Pak Peci yang kebetulan cukup bermodal, melontarkan ide untuk membuat koran baru.
Ternyata edisi perdana koran baru ini (Harian Wekwek), terjual habis. Dan, koran milik Gober maupun Roker tak disentuh pembeli sama sekali. Dalam keheranannya, Gober dan Roker melabrak kantor redaksi Harian Wekwek. Dengan geram mereka bertanya kepada para bekas jurnalisnya, “Kenapa orang menilai koran ini bagus?” Didi menjawab, “Di koran kami ada sesuatu yang tidak ada di koran kalian: berita!”
Rasa ingin tahu yang membentuk komunitas
Menurut sejarawan dan sosiolog Michael Stephens, dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, manusia mempunyai kebutuhan naluriah untuk mengetahui apa yang terjadi di luar pengalaman langsung diri sendiri. Mengetahui peristiwa yang tidak bisa kita saksikan dengan mata kepala sendiri, ternyata menghadirkan rasa aman, perasaan mengontrol dan percaya diri.
Berita juga membantu kita membangun pertemanan. Obrolan mengawali dan mempertahankan persahabatan. Bukankah sangat menyenangkan bertemu orang yang bisa diajak ngobrol hal yang sama? Lebih nyaman berinteraksi dengan orang-orang yang ingin tahu hal-hal yang sama dengan kita. Lebih dari sekadar pertemanan, menurut Kovach dan Rosenstiel, pengarang buku diatas, kesamaan informasi dan bahasa (yaitu isi dan media berita) membantu mendefinisikan komunitas kita. Cerita yang diperbincangkan keluarga Anda tentu berbeda dengan keluarga saya. Komunitas bobotoh jelas membicarakan hasil pertandingan Persib, bukan PSMS (kecuali keduanya bertemu). Mungkin Anda pernah merasa tersisih karena tidak bisa mengikuti obrolan teman-teman?
Lebih dari sekadar membangun komunitas, berita—dan jurnalisme sebagai pemasoknya—beranjak menjadi pembangun kewargaan (citizenry, citizenship). Kewargaan secara sederhana berarti keikutsertaan tiap anggota komunitas dalam masalah-masalah bersama, masalah-masalah komunitasnya. Jurnalisme membangun kewargaan dengan menyediakan informasi-informasi yang akurat, independen, dapat diandalkan, dan komprehensif, agar warga mampu merdeka, mengatur diri sendiri.
Jurnalisme yang sesungguhnya
Jurnalisme seperti apa yang mampu melakukan itu? Bill Kovach dan Tom Rosensntiel menjawabnya dengan menjabarkan sembilan nilai, yang bukan hanya perlu menjadi pegangan para jurnalis, melainkan lebih jauh menjadi tuntutan warga masyarakat bagi kalangan media. Sembilan nilai ini diperoleh dari hasil wawancara dengan 3.000 orang, diantaranya 300 jurnalis, selama 103,5 jam, oleh Committee of Concerned Journalists. Nilai-nilai tersebut adalah:
1.         Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran
Kebenaran jurnalistik adalah kebenaran yang berproses.  Upaya jurnalisme untuk sampai pada kebenaran adalah dengan memilah sedari awal informasi yang keliru, ketiadaan informasi, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang masuk dari sumber berita. Selanjutnya, media akan membiarkan komunitas bereaksi dan penyeleksian informasi pun berlanjut. Pencarian kebenaran dalam jurnalisme pada hakikatnya adalah komunikasi dua arah: antara para jurnalis dan pembacanya.
2.         Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga
Jurnalis bekerja bukan untuk medianya, pemegang saham terbesar, ataupun pemasang iklan. Jurnalis meliput dan menulis laporan agar warga tahu apa yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, media tempat para jurnalis bekerja memperoleh kepercayaan warga, kepercayaan bahwa jurnalis memang menyediakan informasi hanya untuk melayani mereka. Kepercayaan inilah, yang kemudian “disewakan” media kepada para pemasang iklan.
3.         Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Jurnalis mencari sekian banyak saksi untuk sebuah peristiwa, membuka sekian lembar dokumen, dan meminta komentar dari banyak pihak, tidak lain dengan tujuan menceritakan peristiwa setepat-tepatnya. Ada lima prinsip yang mendasari disiplin verifikasi: jangan pernah menambahi, jangan pernah menipu, berlaku transparan dalam metode dan motivasi reportase, andalkan reportase sendiri, dan bersikap rendah hati.
4.         Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis boleh bersikap, tapi tidak boleh berpihak dalam pekerjaannya. Peran jurnalis terletak dalam dedikasinya untuk memberi informasi kepada publik, tanpa memainkan peran langsung sebagai aktivis. Subyektivitas seorang jurnalis dengan segenap nilai dan norma pribadinya memang tidak perlu dimatikan. Namun, jika ada sebuah masalah yang menurutnya sedang membutuhkan pemecahan dan sedang dibicarakan oleh lembaga-lembaga masyarakat, maka ia mempunyai komitmen untuk melaporkan proses ini dalam jangka panjang sebagai seorang pengamat, bukan aktivis.
5.         Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis membina kewargaan dengan membuat proses pemerintahan setransparan mungkin. Lembaga pers harus memahami kapan pemerintahan berjalan efektif, dan kapan tidak. Dalam keadaan efektif ataupun tidak, pers harus bercerita apa adanya, sehingga warga paham sejauh mana pemerintahan telah berjalan efektif.
6.         Jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik
Sebagaimana telah disinggung di atas, pencarian kebenaran dalam jurnalisme adalah komunikasi dua arah. Forum publik sejatinya adalah seluruh komunikasi dua arah yang dimuat dalam berbagai medium yang dipakai para jurnalis. Akan tetapi, forum ini perlu dijaga fungsinya, yaitu agar warga dapat membuat penilaian dan mengambil sikap atas masalah-masalah mereka. Untuk itu, para jurnalis harus menjaga agar forum-forum seperti ini tetap berlandaskan pada fakta, kejujuran, dan verifikasi, bukannya tuduhan, prasangka atau asumsi.
Forum publik juga harus selalu menyertakan kesepakatan dalam banyak hal, yang diyakini sebagian besar publik sebagai jalan keluar dari masalah masyarakat.
7.         Jurnalis harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan
Mendongeng dan informasi bukanlah dua hal yang berlawanan, malah sebaliknya dapat dikawinkan. Jurnalisme adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup mereka. Kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak. Jurnalis perlu senantiasa berusaha membuat hal yang penting menjadi menarik, disamping membuat yang menarik menjadi penting.
8.         Jurnalis harus menjaga berita dalam proporsi dan menjadikannya komprehensif
Jurnalisme adalah kartografi sosial modern. Ia menghasilkan peta bagi warga untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Seperti halnya peta, nilai jurnalisme bergantung pada kelengkapan dan proporsionalitasnya. Sebagai sebuah peta sosial, karya jurnalistik harus meliput berita dari semua komunitas kita, bukan hanya dengan mereka yang secara demografik menarik bagi para pengiklan. Memang, lagi-lagi ada masalah subyektivitas tentang seperti apa peta sosial yang proporsional itu. Akan tetapi, warga bisa menerima perbedaan itu jika mereka percaya jurnalis tidak sedang memberitakan apa yang laku dijual semata, dan bahwa mereka tidak sedang mengumbar sensasi.
9.         Jurnalis punya kewajiban terhadap nurani
Seorang jurnalis harus dibiarkan menyuarakan kata hatinya, mengikuti pilihan-pilihan nilai dan moralnya. Prinsip terakhir inilah yang menganyam setiap elemen jurnalisme yang lain. Subyektivitas harus diberi ruang oleh redaksi dan warga. Sebab, pada akhirnya sebuah karya jurnalistik adalah tanggung jawab pribadi sang jurnalis
Apa yang kita tuntut?
Tentu saja, warga seharusnya berharap bahwa para jurnalis dan industri media berpegang pada prinsip-prinsip diatas. Namun, bagaimana memeriksanya? Dan apa yang harus dilakukan ketika nilai-nilai itu diabaikan? Para jurnalis harus berlaku transparan dengan mengundang pembaca masuk ke dalam proses produksi mereka. Warga perlu tahu, bagaimana sebuah produk berita dibuat, darimana saja sumbernya, dan metode apa yang digunakan oleh media untuk meraciknya. Bila ternyata dalam proses tersebut salah satu dari prinsip itu dilanggar, maka warga harus memberikan informasi, bukan hujatan, kepada media yang melanggar, dan juga sesama warga. Bila lewat satu media tidak ditanggapi, warga harus mencobanya lewat media lain.  Akhirnya, bila tidak juga ditanggapi, maka warga berhak untuk mengabaikan media tersebut. Hentikan berlangganan, stop menonton, matikan!
Hanya dengan begitulah, sembilan elemen jurnalisme betul-betul dapat menjadi hak-hak dasar sebuah masyarakat, sekaligus bentuk tanggung jawab jurnalis. [salim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELF AWARENEES