Jumat, 06 Mei 2011

“Profesi Jurnalis dan Garis Kematian”

Oleh Dede Mulkan

Kandidat doktor Komunikasi Unpad, dosen FIKKOM UNPAD
Posted on April 16, 2007 by jurnalistikuinsgd

“Beda antara hidup dan mati sangat tipis”. Demikian pernah diungkapkan reporter Metro TV, Meutya Hafid, yang sempat disandera selama tujuh hari oleh kelompok Mujahidin di Irak bersama kameramen Budyanto, pertengahan Februari 2005. Peristiwa tersebut begitu mencuat ke permukaan dan kini menjadi catatan penting dan relevan untuk diungkap kembali, berkaitan dengan peristiwa tragis yang menimpa kameramen Lativi dan SCTV, yang tewas saat meliput bencana KM Levina I.
Mengapa masalah keselamatan seorang jurnalis (wartawan, kameramen atau reporter) ketika meliput sebuah peristiwa, harus menjadi catatan penting yang ada di saku setiap jurnalis. Ini tiada lain karena, profesi di bidang jurnalistik sangat dekat dengan “garis kematian” (deadline). Bagi saya istilah deadline itu sendiri tidak hanya mengacu kepada ”tenggat waktu” yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis, ketika ia meliput sebuah peristiwa dan harus segera menulis (melaporkannya) kepada khalayak. Namun lebih dari itu, deadline bisa juga berarti ”baris kematian” dalam arti yang sesungguhnya. Sebab jika tidak hati-hati, profesi ini sangat dekat dan tipis sekali batasnya dengan kematian.
”Gambar akan berbicara seribu bahasa”, demikian ungkapan yang telah menjadi kamus bagi para kameramen televisi. Karena memiliki kelebihan audio-visual itulah, maka para kameramen seakan berlomba-berlomba untuk menghasilkan gambar-gambar yang original dan eksklusif bagi stasiun televisinya. Tantangan dan bahaya di depan mata kadang tak dihiraukannya, demi dihasilkan gambar-gambar yang akan berbicara kepada pera pemirsa. Bila perlu segala hambatan dan rintangan yang mungkin akan menghalangi proses pengambilan gambar, akan ”diterjangnya” oleh para kameramen.
Termasuk dalam kasus kecelakaan Levina I tempo hari. Sebab menurut keterangan Wakapolri, yang berhak masuk ke Tempat Kejadian Perkara (TKP), hanyalah petugas kepolisian dan mereka yang telah ditunjuk resmi. Untuk itulah biasanya TKP akan dibatasi oleh garis kuning. Namun apa yang terjadi dalam kasus Levina I, ternyata wartawan beramai-ramai memasuki daerah TKP.
Wartawan Korban Konflik
Kasus tewasnya jurnalis di saat mereka menjalankan tugas kewartawanan memang menjadi catatan penting bagi berbagai pihak, terutama pemerintah. Sebab dari kasus-kasus yang terjadi itu, tidak jarang justru pemerintah dianggap teledor dalam melindungi profesi wartawan yang sangat mulia itu. Walaupun mungkin saja kasus tewasnya seorang wartawan itu lebih disebabkan karena tidak dipatuhinya aturan dan prosedur yang telah ditetapkan pihak-pihak berwenang.
Beberapa kasus yang pernah terjadi, membuktikan kebenaran akan hal itu. Tahun 2003, Reporter Ersa Siregar tewas dalam baku tembak antara TNI dengan GAM di wilayah Peureulak NAD. Masih di tahun yang sama, seorang Kameramen Indosiar Arie Wailan Orah juga tewas dalam sebuah kecelakaan, saat meliput peristiwa di daerah yang sama. Kemudian setahun yang lalu, lima Kru TV7 Hilang di Papua, ketika meliput Program Jejak Petualang di laut Arafuru.
Menurut pernyataan organisasi pengawas kemerdekaan pers, Reporters Sans Frontieres, tahun 2005, merupakan tahun paling mengerikan bagi Wartawan. Lebih dari 60 wartawan terbunuh dan 1.300 lainnya diserang atau diancam secara fisik. Pada tahun sebelumnya, 53 wartawan dan 15 koresponden tewas. Irak merupakan negara paling mematikan bagi media untuk tiga tahun berturut-turut, Irak juga menjadi \”neraka\” bagi kalangan jurnalis. Sepanjang tahun ini, 32 wartawan terbunuh di negeri itu. Total sudah 92 wartawan tewas di Irak sejak invasi. Belum lagi 37 pembantu wartawan seperti penerjemah, sopir, staf kantor dan lain-lain juga ikut terbunuh.
Laporan lain yang dikeluarkan Institut Pers Internasional (IPI) bermarkas di Wina mengatakan, 40 wartawan tewas di seluruh dunia pada tahun ini. Sebagian besar mereka tewas saat menyelidiki korupsi dan perdagangan obat bius. IPI mengatakan, Irak tahun ini sekali lagi menjadi negara yang paling berbahaya di dunia untuk bekerja sebagai wartawan.
Gloria Castro, seorang jurnalis yang kini memimpin Media for Peace, berperan penting dalam mendidik para wartawan di Kolombia untuk mampu melakukan liputan secara profesional dalam situasi konflik melalui pelatihan-pelatihan rutin yang dilakukannya. Bersama lembaga lainnya, Foundation for Freedom of Expression, organisasi Media for Peace juga membantu melindungi wartawan yang mendapatkan ancaman atas aktivitas jurnalismenya.
Bagaimana Melindungi Jurnalis ?
Wartawan, Reporter atau Kameramen bakal kelabakan dan bisa terbunuh secara sia-sia jika meliput perang, tapi tidak dibekali pengetahun jurnalistik dan perencanaan memadai. Begitu juga ketika para kameramen itu “memaksa” untuk mengabadikan sebuah momen penting dan menarik, tapi dia tidak mengetahui prosedur baku yang harus dijalaninya.
Prosedur dan aturan baku, sebenarnya bukan tidak pernah diberitahukan kepada para jurnalis yang akan meliput di daerah penuh resiko. Seperti melalui penjelasan di langsung di lapangan oleh petugas dan melalui pelatihan-pelatihan rutin yang diadakan oleh lembaga-lembaga terkait. Misalnya Pelatihan Keselamatan Jurnalis (Safety Journalists) yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan International Federation of Journalists (IFJ) kepada para kameramen/reporter televisi swasta nasional dan lokal serta wartawan media cetak.
Para instruktutur pun merupakan orang yang sudah berpengalaman di daerah konflik nyata, yang berbagi pengalaman dengan para peserta pelatihan. Dalam waktu singkat, wartawan harus siap jika ditugaskan meliput perang, konflik dan kerusuhan. Wartawan harus punya persiapan matang jika ditugaskan ke daerah konflik. Agar tidak kelabakan jika menghadapi para korban, wartawan harus punya perencanaan yang matang sebelum berangkat karena memasuki daerah beresiko tinggi. Wartawan harus mengenali daerah tujuan liputan, buat daftar kelengkapan administrasi keberangkatan secara lengkap, seperti Kartu Pers, KTP, Pasport, Visa dan lain-lain. Begitu juga dengan alat P3K dan alat komunikasi harus lebih dari satu.
Wartawan pun mesti punya strategis atau keputusan yang tepat jika menghadapi situasi yang sulit untuk dilakukan. Sayang, apabila banyak jurnalis saat ini tidak punya pengetahuan tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan di daerah konflik ketika ada masalah yang terjadi pada dirinya, seperti di sandera atau ketika ia melihat korban tertembak. Apa yang harus dilakukan oleh seorang wartawan/reporter/kameramen dalam situasi seperti itu.
Menurut hasil penelitian AJI, selama ini banyak media di Indonesia memberangkatkan wartawannya untuk bertugas ke garis depan peliputan berbahaya seperti kerusuhan massal, bencana, perang dan lainnya hanya dengan pengarahan singkat dan pembekalan seadanya.
Terutama, pembekalan mental dan pengetahuan bertahan hidup (survival) yang sangat minim. Padahal dalam liputan berbahaya semacam itu, media maupun wartawan sudah harus menghitung semua resiko dan memastikan bahwa wartawan tersebut bisa pulang dengan berita eksklusif dan tetap hidup.
Materi dalam pelatihan semacam ini biasanya juga berisi tentang bagaimana membuat perencanaan peliputan lapangan yang baik, memahami situasi di lapangan dan bersiaga terhadap kemungkinan terburuk, latihan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), CPR, menangani patah/retak tulang, pendarahan dan luka bakar. Selain itu, bagaimana menurunkan resiko dalam peliputan dengan meningkatkan keamanan pribadi dan lokasi, ladang ranjau dan perangkap, kekacauan, stress pascatrauma dan penanganannya, bertahan dalam kerusuhan massa, dll.
Hikmah dibalik kasus tewasnya kameramen Lativi saat meliput peristiwa musibah Levina I, tentu menjadi sebuah pelajaran berharga dan teramat penting untuk dijadikan bekal pengalaman melangkah ke depan.
Betul, bahwa pemirsa ingin sekali menyaksikan gambar-gambar ”hidup” yang menceritakan sebuah peristiwa apa adanya. Betul, bahwa pemirsa ingin mendapatkan gambar-gambar eksklusif yang berisi kisah-kisah tentang perjalanan umat manusia yang tidak pernah disaksikannya. Tapi jangan lupa, bahwa pemirsa televisi jauh lebih mengaharapkan lagi, jika gambar-gambar itu juga dapat disaksikan bersama oleh si pembuat gambarnya.
Jadi, berhati-hatilah ketika merekam sebuah peristiwa, karena Sang Kameramen masih akan terus ditunggu dan ditunggu lagi hasil gambar-gambar eksklusif berikutnya. Selamat jalan kameramen televisi, Sang Jurnalis sejati…….. ****
————————–
(Dede Mulkan, Dosen di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi - Unpad)
Keterangan Pengirim Artikel:Nama: dede mulkan,E-mail:
dekans@rad.net.id
Nama Institusi: fikom, Alamat Institusi: jatinangor
Prev: Kebiasaan Membaca Anak, Ada Dimana & Mau Kemana?
Next: “Profesi Jurnalis dan Garis Kematian”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELF AWARENEES