Jumat, 06 Mei 2011

DILEMA SEORANG JURNALIS

Saya beberapa kali sering ditanya, apa yang harus dilakukan seorang jurnalis, jika ia berhadapan dengan pilihan yang berkaitan dengan momen mati-hidup seseorang. Tetapi, di sisi lain, momen itu juga berpeluang mengangkat nama sang jurnalis untuk menjadi seorang “jurnalis besar.”

Saya ambil contoh yang ekstrem: Misalkan, Anda adalah seorang jurnalis. Suatu ketika, ada seseorang mau bunuh diri di depan Anda, dengan cara loncat dari gedung, sedangkan saat itu Anda sebagai jurnalis sedang memegang kamera yang sudah "on", siap mengambil gambar. Nah, dalam situasi itu, apa yang akan Anda lakukan?

Jawaban saya sederhana: Ada dua pilihan, masing-masing dengan konsekuensi tersendiri..

Pilihan pertama, Anda biarkan orang itu bunuh diri, dan Anda mendapat gambar eksklusif saat orang itu meloncat dari gedung, Berkat gambar luar biasa itu, Anda akan jadi jurnalis yang terkenal dan top deh, liputan Anda memecahkan rating tontonan, dan Anda akan merasa hebat dan bangga. Tapi, saat itu Anda mungkin tidak lagi layak menyebut diri "manusiawi."

Pilihan kedua: Anda berusaha menolong orang itu dan mencegahnya bunuh diri. Jika Anda memilih menolong orang itu dan batal mendapat gambar hebat, Anda mungkin tidak dipuji sebagai jurnalis pemecah rating. Anda tetap jadi jurnalis yang biasa-biasa saja seperti sebelumnya. Tetapi Anda patut bersyukur, Anda masih tetap layak disebut sebagai manusia, karena Anda menghargai kehidupan dan nyawa manusia lain di atas ketenaran dan sukses duniawi.

Saya tak hendak mengajari Anda tentang mana pilihan yang benar dan baik. Silahkan Anda pilih sendiri....

Jakarta, 13 Oktober 2009.. Oleh Satrio Arismunandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELF AWARENEES