Selasa, 26 April 2011

Pengantar Buku "Jurnalisme Investigasi"


Dandhy Dwi Laksono

Sabtu, 26 Jun '10 15:57

Investigasi itu seperti seks. Sebagian orang lebih senang langsung mempraktekkan daripada berlama-lama membicarakannya. Apalagi bila harus membaca seratusan halaman buku seperti ini. Persamaan lain: lebih banyak orang melakukan seks, baru menulis buku, daripada sebaliknya.

Bedanya barangkali, bila nanti ada pengungkapan teknik-teknik yang eksplisit dalam buku ini, mustahil dijerat dengan Undang-Undang Pornografi. Paling-paling diprotes media atau wartawan yang merasa jurus-jurusnya diungkap. Meski tak perlu khawatir, sebab ada kode etik di antara sesama "pesulap" untuk tidak saling membongkar sebuah trik tertentu. Ini bukan tentang periuk nasi, melainkan menjaga agar senjata-senjata tertentu tetap bertuah, tanpa pihak lain mampu menyiapkan penawarnya. Terutama bila pihak-pihak itu berpotensi mengancam kepentingan publik. Dalam jurnalistik, hal ini juga dilakukan demi keselamatan para jurnalis.

Berpura-pura sebagai petugas pendata jenis-jenis burung saat menginvestigasi pembalakan liar di tengah hutan adalah teknik penyamaran yang banyak disarankan. Inilah salah satu dari sekian jenis penyamaran yang memungkinkan kita tetap punya alasan membawa-bawa kamera, pensil, buku catatan, atau tape recorder ke dalam hutan. Bandingkan bila, misalnya, berpura-pura menyamar sebagai turis, meski sama-sama punya alasan membawa kamera.

Bila mau sedikit nekat dan keluar modal, bisa juga menyamar sebagai pencari lahan tidur seperti yang pernah saya lakukan di sekitar wilayah Taman Nasional Leuser, Aceh Timur. Tak perlu bertampang cukong, tapi cukup punya dialek Medan atau Jakarta. Jangan lupa membawa mobil bernomor polisi BK (bukan BL), dan beberapa "pengikut". Meski begitu, tak perlu repot-repot mengaku sebagai cukong, tapi cukup sebagai "utusan cukong". Dengan mengaku sebagai orang suruhan, kita masih punya alasan membawa kamera dengan dalih "bos besar" ingin melihat gambar lokasinya. Skenario sebagai tangan kedua juga memungkinkan kita menghindari kesepakatan-kesepakatan dan selalu punya alasan untuk berkata, "Nanti saya bicarakan dulu dengan bos saya."

Tapi bila bekerja sendiri, terutama jika modal dari kantor pas-pasan, maka berpura-pura menjadi peneliti flora dan fauna adalah trik yang lumayan efektif. Tapi apakah si wartawan sudah benar-benar siap menghadapi penggeledahan preman-preman pemain kayu di hutan? Apakah di dalam tasnya berisi buku-buku direktori jenis burung, angrek hutan dan tanaman hias, atau justru buku panduan jurnalisme investigasi seperti ini? Apakah di dalam kamera digitalnya memang berisi foto-foto burung tertentu sebagai "alibi" atau justru foto-foto narsis sang wartawan saat berpose bersama polisi hutan beberapa hari sebelumnya?

Pun semua penyamaran kita anggap sudah sempurna, kedok bisa saja terbongkar gara-gara sang preman memeriksa nomor-nomor terakhir yang kita hubungi di handphone. Siapkah kita dengan semua itu?

Bulan Juli tahun 2007 lalu, isi kamera video saya digeledah petugas keamanan gedung parlemen Amerika, Capitol Building, karena dianggap merekam posisi-posisi perangkat keamanan dan kamera pengintai (CCTV - close circuit television).

"Hei, kemari! Apa yang Anda rekam?" sergah seorang satpam Capitol Building begitu melihat saya mengarahkan kamera ke mereka.

Saya kaget sejenak, lalu segera menguasai diri dan mencari alasan: "Tentu saja interior gedung Anda yang indah..."

"Boleh saya lihat isi kamera Anda?" tukasnya cepat. Nadanya tegas. Setegas garis-garis rahangnya. Besar dan bobotnya saya taksir satu setengah kali badan saya.

"Tentu saja," jawab saya sambil menyiapkan handycam.

"Silahkan di-play back."

Tak lama kemudian saya dilepas karena isi kamera itu memang konsisten menunjukkan visual-visual interior, detil desain, close up patung-patung, ornamen, atau lukisan-lukisan kuno di atas keramik gedung yang dibangun sejak 1793 ini. Gambar-gambar tentang posisi kamera pengintai memang ada, juga letak alat pendeteksi, dan jumlah satpam-nya. Tapi gambar-gambar itu tidak menjadi fokus. Tidak berada di tengah-tengah frame (layar) kamera. Fokusnya tetaplah keindahan interior gedung yang memiliki 540 kamar dan 658 jendela ini. Sehingga siapapun mengira, terekamnya posisi kamera CCTV dan suasana penjagaaan keamanan adalah ketidaksengajaan belaka. Atau setidaknya "kemunculan yang tak terhindarkan".

Ini sebenarnya cuma trik lama agen intelijen yang menyamar sebagai pasangan turis dan berfoto di depan sebuah gedung. Yang diincar adalah foto gedungnya. Obyek pasangan turis di depan gedung, hanyalah pengecoh agar tidak menimbulkan curiga. Namun meski komposisi gambarnya kurang indah, ketika hendak ditayangkan ke pemirsa, teknologi video editing lah yang akan membereskan itu semua. Posisi yang tadinya tidak fokus, bisa digeser menjadi fokus. Yang semula komposisinya wide-shot, bisa di-zoom in di posisi tengah dan lebih ketat (tight-shot). Pendek kata, gambar model apapun bisa diutak-atik oleh komputer, selama tidak menyalahi prinsip-prinsip video editing dalam jurnalistik.

Lalu apakah saya memang berniat merekam posisi-posisi kamera pengintai di Capitol Building tapi menyamarkannya sedemikian rupa dengan visual interior?

Saya tak bisa menjawab pertanyaan ini. Yang jelas, ada juga rekaman lorong yang menghubungkan satu bangunan ke bangunan lain di Capitol di mana semestinya kamera tak boleh dihidupkan. Dan rekaman itu berada di kaset yang lain. Teknik pengambilan gambarnya harus dibuat sedemikian rupa agar terkesan kamera merekam dengan tidak sengaja, atau tombol recorder seolah-olah kepencet. Sebentar stabil, sebentar goyang-goyang. Menyorot lantai, ujung sepatu, atau langit-langit tanpa perlu mempedulikan komposisi gambar atau fokus.

Rangkaian potongan-potongan gambar seperti itu, bila di-play back dengan percepatan (fast foward/FF), di layar LCD kamera akan benar-benar terlihat seperti kamera yang tak sengaja kepencet tombol recorder-nya. Kita memang bertaruh dengan psikologi petugas keamanan, yang biasanya juga enggan menonton rekaman secara real time. Mereka seringkali hanya sekedar menyapu (scanning) visual-visual yang sudah terekam di kamera dengan teknik preview secara acak, melompat-lompat, dan menggunakan fitur FF (fast foward).

Tidak ada maksud jahat dengan apa yang saya lakukan di dalam gedung Capitol itu. Tapi bila sesuatu kelak terjadi pada gedung bersejarah itu, RCTI (tempat dulu saya bekerja) setidaknya sudah punya rekaman detilnya. Tentu saja kita semua berdoa agar tidak terjadi apa-apa dengan bangunan yang bernilai sejarah tinggi itu. Tapi bila suatu saat ingin membuat feature televisi tentang pengamanan gedung-gedung pemerintahan di Amerika, setidaknya saya sudah punya sebagian (kecil) gambarnya.

Penggeledahan isi kamera atau hasil rekaman suara bisa saja Anda alami di dalam hutan. Jadi jangan sekali-kali berasumsi bahwa preman-preman kayu tidak sejeli satpam di Capitol Hill. Sebab tak sedikit di antara mereka yang bekerja di dalam hutan itu, adalah orang-orang yang terlatih. Setidaknya berpengalaman menghadapi tipuan-tipuan wartawan. Apalagi bila mereka telah membeli dan membaca buku ini.

Saat turut melakukan investigasi pembalakan liar di pinggiran Leuser, Aceh Timur, tahun 2008 silam, koordinasi rantai informasi di antara jaringan pembalak di lapangan, sangat rapi. Informan yang berasal dari penduduk lokal, kepala desa yang menyewakan mobil pengangkut kayu, bahkan kapolsek yang sebenarnya sudah lama mengetahui aktivitas pembalakan, adalah pihak-pihak yang tidak akan mudah Anda kelabui dengan penyamaran yang asal-asalan.

Itu baru kejahatan lingkungan dalam skala kecil.

Wartawan radio yang membawa tape recorder harus memastikan bahwa isi rekaman wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan tiga hari sebelumnya, tidak dia bawa serta ke dalam hutan. Yang perlu dia bawa adalah rekaman wawancara fiktif dengan ahli zoologi yang-itu pun-tak boleh menyebut-nyebut tentang langkanya spesies tertentu gara-gara aktivitas penebangan.

Wartawan media cetak juga jangan gegabah membawa blocknote yang isinya angka-angka estimasi jumlah log kayu atau nama-nama aktivis LSM lingkungan lokal, hasil wawancara kemarin. Dia harus memulai catatan dari bagian tengah dan halaman-halaman depannya sebaiknya tertulis nama-nama latin aneka burung, anggrek hutan, atau tanaman hias, dengan warna tinta pena yang berbeda dari yang ia pakai hari itu.

Semuanya sepele, tetapi akibatnya bisa fatal. Meski, berdasarkan pengalaman, lebih banyak hal yang kita "dramatisasi" dalam perencanaan, daripada ketegangan yang benar-benar terjadi di lapangan. Tapi lebih baik membawa payung daripada kehujanan, bukan?

Banyak wartawan yang di kolom pekerjaan Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya tertulis sebagai wartawan. Mungkin mereka pikir ini bisa memudahkan jalannya kehidupan bila harus mengurus segala sesuatu, terutama menyangkut birokrasi. Tapi saat melakukan penyamaran, isi KTP seperti itu bisa menjadi bumerang yang fatal.

Buku ini tidak akan detil mengungkap trik dan teknik seperti itu, tetapi akan membagi cerita bagaimana wartawan-wartawan investigasi di Indonesia, bekerja.
Sumbangan Pengalaman

Para jurnalis senior telah membantu saya mengisi buku ini untuk melengkapi cerita, perspektif, dan bahkan landasan teoritis. Sebelumnya kami memang duduk bersama saling berbagi pengalaman, berdebat, dan berdiskusi tentang apa yang perlu dicakup agar buku ini renyah dibaca dan seru. Yang memprakarsai adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi wartawan yang dibentuk pada 14 Agustus 1994 untuk melawan represi rezim Orde Baru pada media, setelah pembredelan Tempo, Editor, dan Detik. AJI meminta saya menyusun modul untuk paduan peliputan investigasi media cetak, radio, dan televisi. Namun karena rangkaian pengalaman ini terlalu seksi untuk diperas dalam sebuah modul, maka gagasan menerbitkan buku ini pun kami eksekusi.

Ada Metta Dharmasaputra dari Tempo yang banyak bercerita seputar investigasi kasus-kasus kejahatan ekonomi. Metta pernah mengharu biru jagad perpajakan di Indonesia dengan liputannya yang brilian tentang skandal Asian Agri, yang disebut-sebut sebagai kasus perpajakan terbesar dalam sejarah republik.

Senior Metta di Tempo: Dwi 'Siba' Setyo Irawanto juga memberi banyak pencerahan untuk penyusunan bahan dalam buku ini. Saat bekerja di sana, dia adalah redaktur yang pernah menurunkan laporan tentang proyek reklamasi pantai utara Jakarta (Pantai Indah Kapuk/PIK) yang dituding sebagai biang keladi banjir besar di Jakarta. Padahal siapa pun tahu bahwa proyek PIK adalah gagasan raja properti Ciputra (yang juga pemegang saham Tempo). Judul artikel sangat berani: "Janji-janji Kosong Ciputra".

"Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) meluncur dengan garansi tak akan merusak lingkungan. Ciputra, penggagas dan pemilik proyek PIK, menjanjikan lahan pengganti dan pembangunan hutan lindung. Tapi setelah hampir 20 tahun janji-janji itu tidak dipenuhi. Proyek yang direncanakan ramah lingkungan itu malah diduga menjadi penyebab banjir dan biang keladi kerusakan lingkungan. PIK adalah contoh bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu di zaman Orde Baru," tulis Tempo dalam teaser-nya pada rubrik Investigasi edisi 1 April 2002. Padahal Ciputra saat itu tercatat sebagai komisaris di PT Tempo Inti Media, "penerbit majalah ini", kata Tempo.
Masih dari media cetak, ada Aa Sudirman, wartawan senior harian sore Suara Pembaruan yang tekun memantau sumber dana politik pada Pemilu 2004. Padahal, sebagai redaktur politik, dia masih harus dikejar setoran 10-12 berita per hari.

Terakhir, adalah Wenseslaus Manggut, mantan wartawan Tempo yang kini bekerja di vivanews.com dengan pengalaman investigasi kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay pada 2001. Wens mengungkap keterlibatan anggota Kopassus "hanya" dengan memaparkan denah lokasi di mana Theys terbunuh.

Dari cerita empat wartawan media cetak ini saja, kita sudah bisa membayangkan kompleksnya persoalan investigasi. Ada dimensi pengetahuan teknis seperti perpajakan yang harus dikuasai; ada dimensi konflik kepentingan dengan pemilik media yang juga pebisnis; ada soal target kerja harian yang membuat wartawan tak punya banyak waktu untuk menghasilkan karya-karya investigasi; dan ada juga soal kejelian membaca situasi di tempat kejadian perkara (TKP).

Dari kawan-kawan radio, saya menimba pengalaman Aboeprijadi 'Tossi' Santoso, mantan wartawan Radio Nederland yang keluar masuk daerah konflik seperti Timor Timur, Aceh, Vietnam, atau Papua. Dia ada di "TKP" saat tembok Berlin dirobohkan atau saat Uni Soviet bubar.

"Lebih banyak wartawan radio yang merekam seremoni dibukanya tembok Berlin di hari-hari pertama, daripada merekam suara deru buldozer saat tembok Berlin benar-benar dihancurkan," tandas Tossi prihatin. Padahal bagi pendengar radio, bagian paling dramatis untuk membangun cerita runtuhnya segregasi politik itu, justru dari suara bedebam beton-beton tembok yang bertumbangan.

Heru Hendratmoko dari Kantor Berita Radio (KBR) 68H juga memperkaya bahan buku ini dengan pengalaman-pengalamannya mengatur manajemen peliputan, terutama pada hari kematian Munir, September 2004. Heru memutuskan mengirim seorang reporter ke Belanda meski uang kantor di kantongnya hanya Rp 5 juta saja. Para wartawan radio memiliki tantangan tersendiri dalam peliputan mendalam atau investigasi. Ada dimensi jam terbang dan kejelian di lapangan sepeti Tossi, atau gambaran tentang komitmen para petinggi redaksi dalam menyokong peliputan kasus-kasus yang diyakini akan menjadi cerita bersambung seperti pembunuhan Munir.

Kami juga mengundang tiga wartawan televisi dalam forum diskusi untuk menyusun buku ini pada akhir Maret 2009 lalu. Tradisi investigasi di televisi memang belum setua medianya. Tak heran bila ketiganya adalah bekas wartawan-wartawan media cetak yang sudah beralih medium. Ada Ecep S Yasa, alumni Tempo yang kini bekerja untuk TV One dan sebelumnya di SCTV. Ecep memutar tayangan tentang terungkapnya penggunaan narkoba di sebuah lembaga pemasyarakatan dengan menggunakan kamera tersembunyi yang dipasang di badan salah seorang napi. Belakangan wajah Ecep kerap muncul sebagai correspondent at large untuk isu-isu terorisme, seperti eksekusi terpidana mati Bom Bali I di Nusa Kambangan (November 2008) atau peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton (Juli 2009).

Ada perdebatan seru: apakah orang-orang yang terekam wajahnya dalam kamera tersembunyi, perlu dikonfirmasi dan diberi tahu atau tidak, sebelum materi itu ditayangkan.

Dadi Sumaatmadja, alumni Editor dan Tajuk yang kini bekerja di Metro TV berpandangan bahwa mereka tak perlu diberi tahu. Dadi yang pernah menulis buku Reportase Investigasi: Menelisik Lorong Gelap juga berpendapat bahwa wajah narsumber dalam liputan-liputan sensitif tidak selalu harus dikaburkan.

Sementara Eddy Suprapto dari TPI menekankan pentingnya menghormati hak privat seseorang dalam liputan-liputan investigasi televisi yang belakangan banyak menggunakan kamera tersembunyi. Alumni tabloid Kontan ini mengaku, di tempatnya bekerja, tak ada anggaran untuk investigasi. Setiap liputan mendalam, hanya dibekali uang Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta saja.

Saya tak henti-hentinya tertawa mendengar cerita Eddy, mengingat di RCTI misalnya, kami pernah mengajukan proposal liputan investigasi perdagangan ginjal internasional dengan biaya Rp 50 juta dan lolos. Padahal kami dalam atap grup perusahaan media yang sama. Dukungan biaya memang biasanya menjadi alasan para wartawan maupun institusi media untuk tidak memproduksi karya-karya investigasi. Investigasi dianggap mahal, menghabiskan sumber daya manusia, tapi buah bisnisnya belum tentu langsung dirasakan. Padahal, secara bisnis, proyek investigasi adalah investasi.

Jurnalis senior, Bondan Winarno, yang telah menghasilkan karya investigasi tentang skandal emas Busang (Juni 1997), menyatakan bahwa ongkos selama liputan keluar dari kantong pribadi. Bondan saat itu memang pengusaha dan tidak sedang bekerja di media manapun. Meski begitu, ia melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan, Manila (Filipina), Toronto atau Calgary (Kanada), untuk menelusuri seluk beluk kasus penipuan terbesar dalam sejarah pertambangan Indonesia yang melibatkan Bre-X, perusahaan asal Kanada.

Kepada saya, ia mengaku menghabiskan sekitar Rp 40 juta untuk melakukan perjalanan liputan itu. Bila diperhitungkan dengan kurs rupiah di awal 1997 yang sekitar Rp 2.000 per dolar Amerika, angka itu di zaman sekarang kira-kira bisa mencapai Rp 200 juta (depresiasi lima kali). Angka yang terlihat fantastis untuk sebuah proyek peliputan.

Tapi di mata korporasi-korporasi besar, baik koran maupun televisi, nominal itu sebenarnya biasa-biasa saja, terutama bila dibandingkan dengan panen reputasi dan manfaatnya bagi konsumen media. Itu hanya empat kali lipat dari biaya yang dikeluarkan RCTI untuk proyek investigasi perdagangan ginjal Indonesia-Singapura atau pembunuhan Munir. Panitia Mochtar Lubis Award saja (yang notabene sebuah LSM) bisa memberikan hadiah Rp 50 juta bagi pemenang liputan investigasi. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) itu juga menyediakan beasiswa Rp 40 juta bagi proposal liputan investigasi yang dianggap layak.

Jadi, bila ada media mengeluarkan modal Rp 200 juta untuk membuat proyek liputan selegendaris karya Bondan dalam kasus Busang, maka di atas kertas, Rp 50 juta di antaranya akan segera kembali dalam bentuk hadiah dari Mochtar Lubis Award (LSPP). Berarti perusahaan tinggal memikirkan Rp 150 juta sisanya. Bila karya itu diganjar Anugerah Adiwarta Sampoerna, maka modalnya balik lagi sebesar Rp 18 juta.

Para jurnalis televisi memang menyumbang cerita dan pengalaman yang penting, bagaimana masalah etik peliputan tak pernah terumuskan secara baku, meski Indonesia memiliki Pedoman Perilaku Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Terakhir, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai pihak yang ikut menggagas penerbitan buku ini juga mengundang Christer Larsson, wartawan senior dari Swedia yang pernah melakukan liputan beberapa bulan di bawah suhu yang ekstrem di Kutub Selatan. Christer menantang wartawan Indonesia menggunakan segala bentuk teknologi dalam mendukung liputan-liputan investigasi, termasuk foto satelit.

Sebagian isi buku ini sebenarnya adalah "reportase" saya atas jalannya diskusi dan obrolan mereka. Dari sudut pandang ketiga jenis media itu pula (cetak, radio, dan televisi), buku ini akan mengulas sejumlah teknik yang pernah digunakan para wartawan. Ini adalah usaha untuk mensistematisasi aneka pengalaman yang berserak dari para wartawan Indonesia, yang bila dikumpul-kumpulkan bisa menjadi pelajaran berharga dan memberi sumbangsih bagi perkembangan jurnalisme investigasi di tanah air. Hanya saja, karena latar belakang saya yang lebih banyak menekuni investigasi di media televisi, jadilah buku ini penuh "bias" televisi. Saya juga memohon maaf bila ada karya-karya investigasi yang tak dicuplik sebagai contoh atau studi kasus dalam pembahasan buku ini. Terutama yang dihasilkan oleh para wartawan yang sebenarnya jauh lebih berkompeten untuk menulis buku seperti ini.

Secara informal saya juga menyempatkan bertukar kata dengan kawan-kawan wartawan yang bekerja di media-media daerah. Kegigihan dan keuletan mereka sebenarnya tak kalah dengan wartawan nasional, bahkan internasional. Peraih penghargaan Mochtar Lubis Award tahun 2008 untuk kategori Investigasi (media cetak) adalah seorang wartawan daerah bernama Muhlis Suhaeri dari Borneo Tribune yang terbit di Pontianak, bukan media nasional. Untuk urusan risiko, dalam banyak kasus, wartawan daerah bahkan lebih rentan dibanding rekan-rekannya di Jakarta.

Agustus 1996, wartawan harian Bernas di Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, tewas dibunuh akibat berita-beritanya yang mengkritisi kekuasaan lokal di Kabupaten Bantul.

Sepuluh tahun setelah Udin, April 2006, wartawan lepas tabloid Delta Pos, Herliyanto ditemukan tewas di hutan jati dengan luka penuh bacokan, di Probolinggo, Jawa Timur. Polisi yang membekuk para pelaku menyatakan pembunuhan ini terkait pemberitaan Herliyanto tentang penggelembungan dana pembangunan jembatan lokal.

Februari 2009, seorang wartawan daerah kembali tewas. Kali ini adalah Anak Agung Gede Prabangsa, wartawan Radar Bali (grup Jawa Pos) yang dihabisi setelah pemberitaannya tentang penunjukkan langsung proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.

Untuk mengenang keberanian dan risiko yang dihadapi para wartawan daerah, dengan kerendahan hati, saya persembahkan buku ini.

Banyak wartawan atau mahasiswa jurnalistik enggan membaca buku tentang investigasi karena sebagian besar contohnya adalah karya-karya wartawan "bule" sehingga mereka punya 1001 alasan untuk tidak menerapkannya. Dalam buku ini akan saya tunjukkan bahwa our local journalist friends juga punya segudang pengalaman dan bahan yang bisa menginspirasi kita semua.

Tapi apakah perlu mengungkap semua teknik dan trik hingga sedetil-detilnya? Saya harap Anda sependapat dengan saya, bahwa hal itu bukanlah tujuan utama penerbitan buku ini. Demi kemaslahatan bersama-baik keselamatan para jurnalis atau kepentingan kelangsungan investigasi untuk publik-sebaiknya kita bisa membedakan: antara buku tentang pendidikan seks, dan buku panduan beradegan seks. ***


Tag: Investigasi, Buku, Jurnalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SELF AWARENEES